Kamis, 18 Maret 2010

radit dan jani








Judul Film: Radit dan Jani
Durasi: 110 menit
Produser: Adiyanto Sumarjono
Sutradara: Upi
Naskah: Upi
Rumah Produksi: Investasi Film Indonesia
Pemain: Vino G. Bastian, Fahrani, Mario Merdhitia, Nungki Kusumastuti, Joshua Pandelaki



Radit dan Jani dibuka dengan Radit, sang suami, terlihat memasukkan sejumlah makanan kecil dan bir kedalam jaket kulitnya yang terlalu ketat untuk menyimpan semua barang-barang tersebut. Sementara istrinya, Jani, merayu penjaga toko dengan penampilan seksi dan suara ‘serak-serak-basah’nya untuk mengalihkan perhatian mereka.

“Dapat kondomnya, sayang?” tanya Radit.

“Nggak ada, sayang,” jawab Jani sebelum akhirnya mencium bibir Radit dengan gaya sensual di hadapan kedua penjaga toko culun yang terbengong-bengong menyaksikan mereka.

“Yuk!” ajak Radit.

Radit dan Jani pun melenggang keluar sambil bergandengan tangan dan tertawa renyah.

Sungguh sebuah pembukaan yang mengganggu dan membuat saya mulai mempersiapkan kemungkinan terburuk akan film ini --sutradaranya sudah terlanjur membuat saya muak dengan Realita, Cinta, dan Rock ‘n Roll dan Cerita Yogya dalam omnibus film Perempuan Punya Cerita.

Seiring berjalannya film ini, saya mulai meragukan pandangan mata saya. Cerita berlanjut dengan cukup baik. Radit dan Jani digambarkan sebagai pasangan muda yang berasal dari keluarga mampu, namun tidak disetujui pernikahannya. Mereka hidup morat-marit atas nama cinta.

Jani rela pergi meninggalkan keluarga dan rumah nyamannya untuk menderita bersama Radit yang mengajaknya bermain ABC Pancasila untuk mengusir kelaparan dan menggendongnya saat ia ngambek. Untuk kelanjutannya, saya sarankan kalian menonton film ini! ;)

Konflik cukup jelas sejak film dimulai, sedikit berpanjang-panjang namun mencapai klimaks di waktu yang lumayan tepat, dan berakhir dengan penyelesaian yang tidak antiklimaks --seperti umumnya film layar lebar Indonesia. Cerita film ini cukup nyata dalam keseharian, walau jelas kurang (bahkan kadang sama sekali tidak) realistis di bagian artistik dan kostum --begitu juga film layar lebar Indonesia lainnya. Lihat bagaimana Jani selalu muncul dengan sepatu bermotif jaguar dan tas kulit mahal, dan semua kaos-kaos keren yang dipakai Radit, bahkan ketika ia menjadi kuli bangunan. Cerita dan skenario yang merupakan variabel paling lemah dalam perfilman Indonesia ternyata cukup baik dalam Radit dan Jani.

Tanpa cerita dan skenario yang baik, tentu tidak mungkin menghasilkan film bagus. Seringkali yang terjadi adalah tidak adanya logika dalam bercerita (sekalipun untuk sebuah film). Misalnya salah satu tokoh di Cerita Yogya yang awalnya ditunjukkan sebagai perempuan galak yang mengonfrontasi teman-teman prianya yang membuat salah satu sahabatnya hamil. Ia akhirnya menjadi korban paling menderita akibat kebodohan yang bahkan lebih buruk daripada sahabatnya yang ternyata ‘digilir’ oleh sekelompok teman pria pacarnya. Ia bahkan digambarkan sebagai perempuan muda yang labil dan tidak punya harga diri. Radit dan Jani menawarkan karakter yang digarap cukup mendalam.

Radit, pria dengan ambisi menjadi musisi terkenal, terjerat narkoba dan diperlihatkan perlahan-lahan kehancurannya. Dimulai dari mencuri, mengacaukan perjalanan karir kelompok musiknya, dan seterusnya. Semua tindakannya sesuai dengan statusnya sebagai pria pencandu narkoba. Emosinya yang naik turun, sifat pencemburu, pengorbanannya demi apa yang dipercayanya sebagai cinta, dan masa-masa ia mulai ketagihan narkoba, berhasil digambarkan cukup baik.

Begitu juga dengan Jani, perempuan muda yang sesuai dengan zaman dan umurnya tidak mempunyai cita-cita, sangat memperhatikan kecantikan dan penampilan, bergaya-hidup ‘pemberontak’ (harus saya beri tanda kutip, karena sebenarnya tidak sedemikian rebel seperti yang digembar-gemborkan sutradaranya). Sebagai perempuan yang berasal dari keluarga mampu, ia juga mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan karakternya. Seperti pulang pada saat butuh uang dan tidak bisa menahan emosi apabila diganggu harga dirinya.

Film diakhiri sesuai dengan pernyataan Upi Avianto, selaku sutradara dan penulis skenario, yang mengatakan bahwa film ini beraliran drama romantis yang ‘brutal’. Walaupun dalam hal ini, saya tidak setuju penggunaan bahasa Inggris --brutally romantic movie-- dan bahasa Indonesia yang amburadul dalam pernyataannya di situs resmi Radit dan Jani. Cerita cinta yang ‘kasar’ --dalam pernyataan Upi-- dengan panggilan sayang ‘bodoh’ ketimbang sayang, perkelahian yang lumayan seru, kecemburu-butaan Radit, dan pembelaan Jani terhadap Radit di hadapan keluarganya, berhasil disampaikan dengan cukup baik.

Walaupun diakhiri dengan adegan yang menurut saya tidak penting, memperlihatkan Jani dan suami barunya yang ‘ideal’ sedang bermain dengan anaknya, Kirana, saat Radit datang dan memberi hadiah untuk sang anak, saya tetap terkejut. Saya masuk kedalam bioskop dengan ekspetasi pada titik nol, bahkan harapan untuk dapat memaki satu lagi karya insan perfilman Indonesia.

Senin, 15 Maret 2010

rock n roll

Realita Cinta Dan Rock n Roll




Tentang perjalanan kehidupan dua orang sahabat cowok berumur 17 tahun, Nugi dan Ipang. Bagaimana dua orang cowok yang bengal, tidak suka sekolah dan pemberontak harus menghadapi realita kehidupan keluarga mereka yang sebelumnya tidak pernah mereka bayangkan.

Nugi dan Ipang sangat mencintai musik. Mereka bermimpi suatu hari nanti menjadi band rock&roll terkenal. Mereka tidak suka sekolah karena dianggapnya cuma buang-buang waktu saja. Di sekolah mereka selalu mencari-cari alasan dan kekacauan untuk tidak mengikuti pelajaran. Hidup itu mengalir saja buat mereka. Santai dan tanpa beban.

Mereka juga sering membuat hal-hal gila yang spontan. Selain itu Mereka juga mempunyai sahabat cewek bernama Sandra, seorang penjaga distro yang cantik dan sering menjadi tempat curhat mereka. Nugi menyukai Sandra, tetapi perhatian Sandra justru jatuh pada Ipang yang lebih sering bersikap dingin padanya.

Nugi tinggal bersama Ibunya yang single parent. Ibunya sudah bercerai dengan Ayahnya sejak Nugi berumur 6 tahun. Dan sejak itu Nugi tidak pernah lagi bertemu sang Ayah yang katanya tinggal di Amerika. Ayah Nugi dulu pernah jadi atlit Taekwondo.

Nugi tinggal di lingkungan Ibunya yang bergaya hippies. Ibunya membuka praktek pengobatan holistic di rumahnya. Jenis pengobatan dengan aroma therapy. Hubungan keduanya layaknya dua orang teman. Ibu Nugi bisa dibilang Ibu yang unik, nyentrik dan cuwek. Hanya saja Nugi tidak pernah bisa terima jika Ibunya berhubungan dengan laki-laki lain. Nugi sangat tidak menyukai pacar Ibunya yang bernama Paul yang juga bergaya hippies.

Sementara Ipang tinggal di lingkungan keluarga yang sangat mengutamakan pendidikan. Papanya seorang dosen dan Ibunya juga aktif di kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan. Ipang mepunyai adik berumur 7 tahun, bernama Dido. Dido sangat memuja sang kakak. Sebaliknya Ipang walaupun suka jahil terhadap Dido, tapi sangat menyayanginya. Hubungan Ipang dengan Papanya tidaklah harmonis. Papanya sangat tidak menyukai kegiatan ngeband Ipang. Papanya lebih ingin Ipang mengutamakan sekolahnya.

Setelah kenakalan demi kenakalan mereka jalani. Mereka dihadapkan pada realita yang sangat memukul mereka. Nugi harus menerima kenyataan bahwa Ayahnya yang selama ini dirindukannya ternyata telah menjadi transeksual. Ayahnya kini telah menjadi seorang Ibu, dan membuka kursus salsa di rumahnya. Sementara Ipang baru menyadari bahwa dirinya bukanlah anak kandung dari keluarganya, melainkan di adopsi dari bayi.